23/08/2021

Tokoh Bola, Dimakamkan seperti Sosok Ulama

 

Oleh H Abdul Muis Masduki Wartawan Senior Olahraga

 

Tanda-tanda kealiman seseorang itu bisa disimak dari akhir hayatnya. Ini pesan yang pernah penulis dengar dari orang tua. Husnul khotimah atau su’ul khotimah. Pulang dengan membawa rapor yang baik atau sebaliknya.
Tanda-tanda orang husnul khotimah dan su’ul khotimah itu, lanjutnya, juga sudah diperlihatkan semasa hidupnya. Dan, bisa disaksikan ketika sakaratul maut dan penghormatan ketika proses pemakamannya. “Semua itu tergantung amal perbuatannya,” pesan terakhirnya sebelum kembali ke Rahmatullah.

Pesan yang sama pernah diucapkan H Mohammad bin Salim Barmen, satu-satunya tokoh sepakbola yang menyempatkan takziah atas meninggalnya ayah penulis. “Masya Allah, Bapak husnul khotimah. Insya Allah ahlul jannah,” bisiknya di telinga penulis saat itu.

Pesan yang mengesankan inipun, lantas, penulis bungkus dengan rajutan yang kian erat. Hubungan kami dengan Bang Moh –sapaan akrabnya- tak sebatas narasumber dan wartawan. Gayung pun bersambut.
Bang Moh tak lagi menganggap penulis sebagai teman atau mitra kerja. “Awakmu wis tak anggep anakku dewe, termasuk Jamil (Kamu sudah saya anggap anak sendiri, termasuk Jamil/adik penulis, Red.),” bisik dedengkot Persebaya ini.

Pemakaman Bang Moh

Kontan, air mata penulis pun meleleh. Trenyuh dengan kebaikan sosok yang disegani ini. Betapa tidak!
Di saat hening, tengah kehilangan orang tua, saat itu pula bisikan Bang Moh menyejukkan hati. “Jaga ibumu. Senengno beliau. Awakmu pasti jadi anak sholeh,” pesannya sebelum meninggalkan rumah kami.
Waktu terus berjalan. Hubungan keluarga kami dengan Bang Moh kian akrab. Terutama adik penulis, Jamil.

Kehadiran adik kelima penulis ini, dirasa sebagai pelipur rindunya Bang Moh, pada Salim Barmen. Putra pertamanya yang meninggal dunia saat kecelakaan satu mobil bersama istri dan anaknya.

Setiap Hari Raya Idul Fitri, kami diundang ke rumahnya. Kakak dan beradik penulis selalu menyempatkan salim tangan dengan “orang tua” angkat ini. Pulangnya, Bang Moh selalu membekali bingkisan lebaran dan secarik amplop plus isinya. “Ini dulu jatahnya Bapak, sekarang kasihkan Ibumu,” pintanya pada salah satu adik kami.
Saat pamit pulang, Bang Moh juga selalu titip salam pada rekan-rekan wartawan yang pernah menulisnya dan meliput Persebaya. Ia juga selalu menitipkan pesan agar menjaga silaturahim walau tidak lagi terlibat dalam tugas masing-masing.

Baca Juga:  Ini Alasan Wonderkid Manchester United Tak Bisa Main Di Posisi Nomor 9

Bahkan, tak jarang pula Bang Moh menitip uang lebaran untuk rekan seprofesi. “Mereka tetap saya jatah tiap tahun sekali,” akunya. Belakangan Dhimam Abror Djuraid, mantan pemimpin redaksi Jawa Pos, yang pernah menjadi Ketua Pengprov PSSI Jatim, Ketua Harian KONI Jatim, Ketua PWI Jatim dan Manajer Persebaya Junior ini rajin “unjung-unjung” ke rumah Bang Moh. Juga ada wartawan olahraga Sidiq Prasetyo dan Coach Jacksen F. Tiago, yang mengawali melatih di Assyabaab setelah pensiun sebagai pemain Persebaya.

Foto kenangan Bang Moh (berdiri no 3 dari kiri), anak angkat Jacksen Tiago (berdiri no 4 dari kiri) dan penulis (berdiri paling kanan). (FOTO: istimewa – Dok Abdul Muis)

 

Obrolan berjam-jam tak terasa, kendati siang itu, yang diceritakan dari tahun ke tahun, ya itu-itu saja. Soal seluk-beluk Persebaya, pertandingan kasat mata di balik lapangan hingga pertarungan para “dewa” bola di Indonesia. Sampai kue-kue yang dihidangkan lupa kita santap. Ha…ha…

Usia yang senja tak membuat Bang Moh lupa ingatan. Daya ingatnya tajam sekali. Berceritanya juga runut.
Walau materi ceritanya sama, tak berubah, pertemuan kami pun tetap gayeng. Tidak pernah bosan. Malah kita sering tertawa ger-geran. Apalagi Bang Moh sangat gaul. Tak membedakan usia dengan tamunya. Suroboyoan puoll…

Khusus hari raya itu, Bang Moh sengaja mencarikan jadwal khusus bertemu kami. “Setiap hari raya kedua saja. Enak karena hari raya pertama acara saya sama keluarga,” pintanya kala itu.

Setiap tahun, sebelum duhur pun kami janjian. Pintu samping rumah yang berhubungan dengan mulut gang Jalan KH Mansyur 120 Surabaya itu, tidak dikunci seperti biasanya. “Khusus gawe awakmu karo bolo liane langsung mlebu ae,” pintanya.

Dan, hari ini, dia memang tidak menerima tamu sekalian dari kita-kita. Pernah ada seorang berhidung mancung dan bersongkok mengetuk pintu dan mau masuk, hanya disambut salam balik oleh Bang Moh. “Alafu akhi, ini ana masih ada tamu. Alafu ya,” elaknya yang disambut ucapan balik karibnya itu. ”Fadol Ami Moh.”

Di pertemuan hari raya kedua itu sebenarnya tidak ada diskusi atau acara lainnya. Kami diundang untuk kangen-kangenan dan menjadi pendengar. Bang Moh yang lebih dominan bercerita. Dia baru berhenti setelah mendengar adzan duhur. Obrolan berhenti sejenak. Kita sholat berjamaah. Bang Moh selalu menolak jadi imamnya. Walau paling tua usianya. Entah!

Baca Juga:  Robert Alberts Beberkan Rahasia Agar Para Pemainnya Tak Bosan Kala di Hotel

Obrolan kembali digelar. Melanjutkan ceritanya yang belum rampung. Kami pun sering sulit memutus cerita untuk pamitan pulang. Tapi, kadang Bang Moh menyadari obrolan siang itu, di hari raya kedua itu, sudah terlalu lama.
Di hari raya kedua tahun berikutnya juga demikian. Tapi kami tidak pernah bosan. Acara silaturahim ini lantas berhenti dengan sendirinya. Sejak Pandemi Covid-19. Dua kali Idul Fitri penulis absen. Entah Jamil, Abror dan Jacksen.

ORANG TUA ANGKAT JACKSEN TIAGO

Selama bertemu Bang Moh, berjam-jam ngobrol, penulis tak pernah sebersit pun mendengar kalimat berbau dakwah agama atau yang lain. Padahal Bang Moh Islami banget. Jaga syariat. Alim.

Ia juga tak pernah bercerita tentang keluarganya. Kami juga tak pernah dikenalkan istrinya. Bahkan ketika masih menjadi pejabat di kantornya, rumah Bang Moh selalu tertutup. Istrinya selalu menjawab dari balik jendela dan mengatakan Bang Moh tidak ada.

Bang Moh baru mudah ditemui setelah membuka usaha sendiri. Toko kain potongan yang dipajang di ruang tamu. Cara jualannya juga unik. Tidak terbuka sebagaimana toko umumnya.

Di luar pintu masuk ruang tamu itu hanya tergantung tulisan,”BUKA.” Dan, Jual Kain Kiloan. Yang jualan juga bukan istrinya. Tapi Bang Moh sendiri. Ia duduk manis di balik meja kerja yang dilengkapi telepon umum berdering.
Telepon itulah satu-satunya untuk menghubungi dia. Bang Moh tidak pernah menggunakan handphone. Jadi kalau silaturahmi harus tatap muka. Namun sejak pandemi Bang Moh lebih berhati-hati mengingat usianya sudah kepala delapan.

Tiga bulan sebelum jatuh sakit, menurut Firman, salah satu pemain Assyabaab yang ikut menjaga toko bersama beberapa pemain lainnya, posisi Bang Moh sudah digantikan cucu pertamanya. Anak dari dokter Fauzi yang berputra empat itu.

Kondisi Bang Moh terus berangsur turun. Lemas dan butuh asupan albumin. “Sehari sebelum meninggal sebenarnya sudah enakan. Tapi kodratullah, Abi hari ini sudah harus menghadap Ilahi,” ujar Fauzi saat hendak mengikuti sholat jenazah di Masjid Al Irsyad.

Menurut Fauzi, almarhum tidak pernah menderita sakit kronis apapun. Bahkan di usianya setua itu, Bang Moh masih sehat dan bugar. Aktivitasnya tak terganggu. Jalan dan pandangan matanya normal-normal saja. “Abi hanya drop sebelum meninggal,” jelas dokter umum ini.

Baca Juga:  WOW! Persebaya Surabaya Resmi Lepas Pemain Lagi

Karena itu, masyarakat Kauman Ampel, langsung berbondong-bondong untuk bertakziah ketika mendengar tokoh sepakbola nasional ini wafat. Sejak diberitakan meninggal dunia di saat bangsa Indonesia menanti detik-detik proklamasi Kemerdekaan RI ke-76, saat itu pula rumah Bang Moh ramai pentakziah.

Awalnya jumlah jamaah yang ingin mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya tidak terlalu banyak. Namun ketika jenazah almarhum dinaikkan Ambulance berlogo bulan sabit hijau meluncur ke Masjid Al Irsyad sudah banyak pentakziah yang berkumpul di dalam masjid. Bang Moh disholati setelah sholat berjamaah Asar.

Masa pandemi tak membuat pentakziah surut. Shof sholat jenazah hampir memenuhi masjid yang cukup luas itu. Ini mengingatkan penulis ketika turut menyalati jenazah para ulama. Dokter Fauzi, anak kedua Bang Moh tak henti-hentinya mendapat simpati dari jamaah.

“Masya Allah, ahlul Jannah. Ami Moh orang baik. Patut antum teladani,” sebut seorang pria berhidung mancung kepada Fauzi. Doa senada juga disampaikan oleh beberapa petakziah lainnya. Tampak dalam barisan sholat jenazah Ketua Asprov PSSI Jatim Ahmad Riyadh UB PhD, mantan pengurus Persebaya era 80-an dan klub ASGS (Assyaabaab Salim Group Surabaya) dr Abdul Razak Bawazier, para wartawan dan pemain Assyabaab yang masih aktif.

Tampak pula Jacksen Tiago, mantan bomber Persebaya yang kini melatih Persipura Jayapura, datang khusus dari tempat pemusatan latihan klubnya di Batu. Jacksen menunggu di luar masjid dan tak beranjak hingga prosesi pemakaman selesai.

Sayang pria asal Brazil yang beristrikan wanita dari Kampung Kauman Ampel ini keberatan buka suara. Mulutnya tertutupi masker. Ia hanya mengisyaratkan masih sedih dan berbelasungkawa atas kepergian sosok Bang Moh, yang sudah dianggap sebagai orang tua angkatnya.

Kesedihan Jacksen itu memang tidak bisa dipungkiri. Ia tampak turut larut dalam suasana doa dan tahlil, yang dikoordinasi rekan akrabnya, M. Jamil di area kubur Bang Moh. Jacksen tampak berdiri tegak, menatap tajam pusara “orang tua angkatnya” hingga matanya berkaca-kaca.

Kepergian Bang Moh benar-benar memukul Jacksen. Begitu pula keluarga Fauzi. Namun anak “semata wayang” Bang Moh ini harus mengikhlaskan kepergian orang tuanya. Fauzi yang hadir didampingi putra pertama dan ketiganya, melepas kepulangan orang tuanya hingga prosesi pemakaman rampung.

Saat dihampiri penulis untuk berpamitan dia tersenyum ramah. “Mohon dimaafkan ya, semua kekhilafan Abi. Terima kasih banyak atas takziahnya,” tutur Fauzi kalem, sebelum meninggalkan tempat pemakaman. (Selesai)