Bolamakanbola.com – Menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dan di tengah tarik-ulur pembahasan nasib Liga 2, sepakbola Indonesia malah kembali memunculkan kisah tak enak lewat kericuhan yang melibatkan suporter.
KLB PSSI dijadwalkan berlangsung pada 16 Febuari 2023 mendatang. Dengan kata lain, terhitung tidak sampai sebulan lagi agenda tersebut akan digelar.
Di KLB PSSI, agenda utamanya tentu saja adalah proses pemilihan pengurus baru induk organisasi sepakbola Indonesia itu. Pada prosesnya, nasib Liga 2 2022 pun bakal tertumpu di agenda KLB.
Hal itu diungkap Menpora Zainudin Amali setelah menerima perwakilan klub yang ingin Liga 2 lanjut, di Kantor Kemenpora, Senin (30/1). Kompetisi sudah dipastikan tak bisa lanjut sebelum KLB PSSI.
Menjelang momen penting tersebut, yang bisa turut menentukan arah persepakbolaan Indonesia ke depannya, secara ironis justru ada kericuhan-kericuhan yang melibatkan suporter pada akhir pekan lalu.
Semakin ironis mengingat ricuh-rusuh itu terjadi setelah Liga 1 relatif baru bisa mendapatkan izin untuk bisa bergulir lagi, selepas tragedi Kanjuruhan nan memilukan.
Ricuh Suporter pada Akhir Pekan
Di hari Sabtu (28/1) bus Persis Solo yang menyambangi markas Persita Tangerang di Indomilk Arena menjadi korban pelemparan batu oleh suporter.
Sehari berselang di kota Malang, Minggu (29/1), kantor Arema FC juga menjadi sasaran demonstrasi suporter yang berujung kericuhan.
Aksi suporter ke kantor Arema FC ini turut menjadi perhatian Budi Setiawan, Founder Football Institute. Apalagi, dalam catatannya, bukan kali ini saja kubu Arema FC menjadi korban aksi kekerasan dalam rentang waktu berdekatan.
“Bila merujuk kepada tiga kejadian kekerasan terhadap pemain, pengurus, dan kantor Arema FC secara beruntun dalam kurang dua minggu ini maka ada beberapa indikator yang dapat kita jadikan pemahaman dan bahan evaluasi,” ucapnya dalam pernyataan yang diterima detikSport.
“Pertama, kekerasan ini mengindikasikan bahwa ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Arema dan merusak nama Arema FC atas nama pendukung. Menggunakan alasan PT Arema Aremania Bersatu Berprestasi Indonesia (PT AABBI) atau Arema FC mesti bertanggungjawab dan mengusut tragedi Kanjuruhan sama sekali tidak tepat. Selain mereka bukan penegak hukum, para pengurus dan pemilik klub telah menunjukkan inisiatif yang baik melalui mitigasi korban dan juga pemberian santunan kepada korban.”
“Kedua, persoalan persepakbolaan kita hari ini ternyata bukan hanya persoalan pemain, pemilik, tetapi juga sikap ketidakdewasaan pendukung atau supporter bola. Sehingga kejadian seperti Tragedi Kanjuruhan bukan semata-mata kelalaian penyelenggara pertandingan, petugas keamanan, dan klub, tetapi juga sikap brutal dan merusak oknum pendukung yang sering melanggar hukum. Pelemparan bis pemain dan kantor klub yang mengakibatkan korban luka merupakan tindakan pidana yang tidak dapat dibiarkan dan justru merusak citra klub Arema dan Aremania sendiri.”
“Peristiwa ini di luar kelaziman, sehingga menurut hemat saya pihak kepolisian perlu menyelidiki lebih jauh mengenai identitas para pelaku, apakah ada kaitan dengan keluarga korban atau tidak. Dan juga apakah ada indikasi setting-an atau tidak, sehingga jika ada otak pelaku atau dalang dari peristiwa anarkis di kantor Arema tersebut dapat terkuak.
Secara umum, Budi Setiawan juga menyatakan rasa prihatinnya terhadap kondisi itu karena ternyata “intrik dan kekerasan suporter masih menjadi wajah sepakbola kita.”
Untuk demo ricuh di kantor Arema FC, Polresta Malang Kota saat ini masih memeriksa 13 orang untuk melakukan pendalaman. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat akan ada nama tersangka yang diumumkan.
“Dari 107 orang yang telah dimintai keterangan oleh penyidik, 94 orang telah dipulangkan. Karena dinyatakan tidak terkait peristiwa tersebut,” ucap Kasi Humas Polresta Malang Kota Iptu Eko Novianto kepada wartawan, Senin (30/1).
Pengusutan serupa, plus tindakan tegas, juga menjadi permintaan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang berang dengan aksi pelemparan ke bus Persis Solo. Lewat akun media sosial pribadinya, Gibran pun sudah mengadu ke Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Intinya memang harus ada tindakan tegas, kalau dibiarkan akan ada terus seperti itu. Tidak akan pernah berhenti,” kata Gibran di Balai Kota Solo seperti dikabarkan oleh detikJateng.
“Intinya memang harus ada tindakan tegas, kalau dibiarkan akan ada terus seperti itu. Tidak akan pernah berhenti,” ujarnya.