Barmen Itu Kiai Khos Persebaya
Kita kehilangan legenda sepak bola Surabaya. Bukan legenda sebagai pemain. Tapi sebagai orang di balik layar berbagai sukses Persebaya.
Legenda itu namanya Mohamad Barmen. Saya biasa memanggil Bang Moh. Ada juga yang memanggil Pak Barmen. Ia meninggal di tanggal keramat bagi Indonesia, 17 Agustus.
Ia menghadap ke Sang Khalik seperti janjian dengan tokoh bola lainnya Andi Darussalam Tabusalla. Orang bola yang eksistensinya juga tak lepas dari tangan tak kelihatan Bang Moh. Yang meninggal beberapa jam sebelumnya di hari yang sama.
Begitu saya ditunjuk menjadi Ketua Umum Persebaya tahun 2005, saya menjadikan Bang Moh sebagai sesepuh. Tempat mengadu dan curhat ketika menghadapi berbagai persoalan tentang Persebaya.
Mengapa ke Bang Moh? Karena saya tahu dia orang baik. Pembina Assyabab, klub bola anggota Persebaya. Yang sangat disegani para pemain kesebelasan maupun para “dewa” bola di Indonesia.
Seperti diketahui, sepkabola di Indonesia bukan hanya soal permainan di lapangan. Apa yang terjadi di atas rumput hijau hanyalah yang kasat mata. Tempat bertanding antar klub untuk kalah dan menang.
Tapi banyak tangan tak kasat mata di balik lapangan hijau tempat kesebelasan adu olah bola. Tangan-tangan tak kasat mata ini yang seringkali lebih menentukan pertandingan di lapangan.
Ketika ditunjuk menjadi Ketua Umum Persebaya, saya adalah orang baru di sepak bola. Buta terhadap peta permainan di balik layar. Ibarat anak TK yang masih harus tertatih-tatih belajar dunia permainan bola.
Saya melihat Bang Moh sebagai orang yang cocok sebagai rujukan. Orang yang tepat menjadi tempat bertanya. Sekaligus menjadi “guru spiritual” dalam menghadapi tangan-tangan tak kasat mata dalam dunia bola.
Pilihan saya ternyata tak salah. Setelah berhasil memperjuangkan Persebaya untuk bisa main setelah dihukum PSSI, tangan-tangan tak kelihatan Bang Moh ikut mengantarkan Persebaya juara.
Loh kok bisa? Meski tidak masuk dalam kepengurusan tim, peran dia sangat besar. Ia menjadi motivator pemain setiap kali bertanding. Ia selalu mengirimkan madu asli dari Yaman untuk penambah energi.
“Uniknya, ia selalu menyiapkan madu yang masing-masing pemain hanya boleh minum sesendok. Tidak boleh lebih. Kecuali ada pemain yang tidak ikut meminum madu,” kata Mohammad Jamil, orang kepercayaan Barmen untuk urusan khusus.
Madu Barmen tidak hanya dianggap sebagai madu biasa. Madu yang oleh pemain dan sebagian official Persebaya dianggap sebagai madu berkhasiat. Yang bisa membuat tenaga pemain bak tenaga kuda.
Dia tidak hanya mengirim madu. Tapi juga menjanjikan bonus khusus untuk pemain tertentu yang diharapkan main dengan total. Bonus yang disediakan dari koceknya sendiri.
Bang Moh memang bukan orang bola sembarangan. Ia tidak hidup dari bola. Tapi kecintaannya kepada bola membuat ia keluarkan apa saja. Termasuk hartanya. Ia pedagang kain yang melayani grosiran. Di toko rumahnya di Jalan Kiai Mas Mansur 120, Ampel.
Tangan-tangan tak kasat matanya juga ikut bermain saat penentuan juara Divisi Utama 2006. Saat Persebaya yang terdegradasi akibat mundur jelang 8 Besar tahun sebelumnya harus berhadapan di Partai Final dengan Persis Solo di Kediri.
Ceritanya begini.
Salah seorang yang mendorong saya menjadi Ketua Umum Persebaya, Haji Santo, di final kabarnya mendukung Persis Solo. Ia memang berasal dari kota itu sebelum hijrah ke Surabaya.
Padahal ia terkenal sebagai salah satu sosok yang dikenal sebagai “dewanya” nonteknis sepak bola Indonesia. Kalau ia tetap bermain di sisi Persis Solo bukan tidak mustahil target juara bagi Persebaya hanya menjadi angan-angan.
Tanpa sepengetahuan saya, Bang Moh turun tangan. Ia panggil Haji Santo ke rumahnya. Dia diminta untuk berdiri di sisi Persebaya. Bukan di pihak Persis Solo. “Anda mencari hidup di Surabaya. Maka harus dukung Persebaya,” katanya.
Tak hanya omongan. Ia perintahkan Jamil untuk mengawal Haji Santo agar tidak datang ke Kediri untuk menonton partai final. Sebab, kalau sampai datang ke Kediri ia akan bisa memainkan tangan-tangan tak kasat mata untuk memenangkan Persis Solo.
“Bang Moh sampai memberi uang Haji Santo untuk menggelar nonton bareng dengan para wartawan di Hotel Elmi. Saat itu, Haji Santo betul-betul nurut dengan Bang Moh. Dan benar, akhirnya Persebaya juara,” kisah Jamil.
Pengorbanan Bang Moh mengawal Persebaya saat itu dilakukan secara tulus. Seperti komitmen yang pernah dia katakan saat saya sowan ke rumahnya setelah jadi Ketua Umum Persebaya.
Komitmennya terhadap bola, ketokohan dan ketulusannya membuat ia disegani banyak orang. Tidak hanya oleh pemain bola, tapi juga para tangan-tangan tak kasat mata yang menjadi penentu permainan bola.
Dalam dunia bola, Bang Moh bisa disebut sebagai godfather. Tapi bukan godfather jahat melainkan godfather baik dalam jagat sepakbola Indonesia. Saya ikut beruntung dari keberadaannya.
Kini Bang Moh bersama Andi Darusalam bareng-bareng menyusul Haji Santo. Selamat jalan Bang Moh. Salam untuk Haji Santo di sana. (bersambung)